Minggu, 31 Maret 2013

Rektor Unpar Harus Berantas Jual Beli Diktat dan Nilai



PALANGKA RAYA – Komisi C DPRD Kalteng berharap, Rektor Universitas Palangka Raya (Unpar) yang terpilih nanti, mampu memberantas kasus jual beli diktat dan nilai. Pasalnya selama ini perguruan tinggi negeri (PTN) terbesar di Kalteng itu, selalu marak dengan jual beli nilai antara dosen dan mahasiswa. Jual beli diktat diduga masih terus terjadi. Hal itu dikatakan Ketua Komisi C DPRD Kalteng H.Guntur HAA. Saat ditemui sejumlah wartawan digedung DPRD Kalteng, Rabu (27/3). Menurutnya, selama ini dari berbagai keluhan dan laporan masyarakat, pihaknya masih menerima laporan adanya dugaan praktik jual beli nilai maupun diktat. Praktik itu sangat memberatkan mahasiswa dan berdampak terhadap peningkatan sumber daya manusia (SDM) Kalteng.

Terkait akan dilaksanakannya pemilihan rektor atau pimpinan Universitas tersebut, yang akan dilangsungkan beberapa bulan mendatang, ia mengharapkan agar rektor yang terpilih nantinya mampu membawa perubahan yang sangat positif bagi perguruan tinggi negeri terbesar di Bumi Tambun Bungai itu. “Inikan mau pemilihan rektor, kita harapkan kedepan tidak ada lagi jual beli nilai atau diktat. Itu semua harus diberantas , “ kata Guntur.

Dikatakannya, jika praktik tersebut tidak segera diberantas, dikhawatirkan akan berpenga negatif terhada usaha pemerintah daerah (pemda) dalam meningkatkan SDM di Kalteng. Disamping itu, selama ini Kalteng terus berusaha meningkatkan SDM Kalteng melalui program Kalteng Harati. Jika Unpar tidak berbenah dan berusaha menjadi PTN yang profesional, akan sangat bertolak belakang dengan program yang dilaksanakan Pemda sekarang ini.

Lebih lanjut, wakil rakyat dari daerah pemilihan (Dapil) Kalteng II, yang meliputi Kabupaten Kotawaringin Timur dan Seruyan ini mengatakan, selama ini Unpar terus didukung dengan dana dari pemerintah daerah. Dengan adanya dugaan pungutan atau sebagainya dari Kampus tersebut, ia mengaku heran. “selama ini anggaran dari pemerintah ada terus, tapi mengapa terus terjadi pungutan dan sebagainya,” tegas Guntur.

Ia menjelaskan, tidak semua mahasiswa yang menuntut ilmu diperguruan tinggi itu mampu Kalau harus beli diktat dan bayar untuk mendapatkan nilai yang tinggi, kemudian diperberat lagi dengan berbagai pungutan. Unpar harus segera berbenah. “ Unpar harus meninggalkan hal-hal yang tidak baik dan segera berbenah,” Pungkas politisi dari Partai Golkar ini. Sgh.

Sumber : Harian Umum Tabengan, sabtu 30 Maret 2013, Hlm 8.

1 komentar:

  1. Mending buat bahan ajar bentuk buku diterbitkan penerbit, pasarannya tidak hanya mahasiswa sendiri, tapi bisa seluruh Indonesia. Kuliah perlu buku, dan sumber belajar lainnya kalau mahasiswa memang mau menjadi mahasiswa yang bermutu pasti tidak keberatan membeli buku. Buku memiliki hak paten, sebagai kekayaan intelektual. Jika diktat dianggap bukan sumber belajar, sebagai bahan ajar yang perlu dimiliki, mungkin karena diktat dianggap ada kaitannya dengan kelulusan mahasiswa. Mind set inilah yang perlu diubah. Diktat tidak salah, karena dapat disebut sebaga salah satu sumber belajar, tetapi tidak tepat sasaracn apabila cara memperoleh diktat tersebut diksitkan dengan kelulusan mahasiswa yang membeli diktat tersebut. Mari mahasiswa berpikir jernih yang dimulai tentu olej dosen yang menegaskan tujuan diktat tersebut diadakan untuk apa. Dosen dan mahasiswa adalah akademisi, coba lakukan segala tindakan tidak diluar jalur akademik dalam kata maupun perbuatan.

    BalasHapus