Palangka
Raya (Suram News), Mahasiswa yang tergabung dalam Forum Diskusi Mahasiswa Palangka Raya
(FORDIMA), mengadakan kuliah umum dengan mengankat tema Emansipasi Perempuan,
sabtu 8/10. Kedua narasumber yang tidak disanksikan lagi kapasitasnya dalam hal pergerakan mahasiswa
saling bergantiaan memaparkan materi emansipasi perempuan. Bung Danny sapaan
akrap aktivis asal kota surabaya ini membuka pembahasan dengan mengungkap
beberapa sisi marginalisasi kepada kaum perempuan dewasa ini ada tiga pokok
problematika perempuan yang pertama secara ekonomi adanya perbedaan upah antara
laki-laki dan perempuan disektor industri, kedua dalam segi
politik adanya pembatasan kuota suara perempuan dalam menempati
kursi parlemen lewat UU pemilu, ketiga dalam segi budaya masih kentalnya budaya
patriaki yang berpaham bahwa laki-laki harus memimpin perempuan dan perempuan
selalu menjadi nomer dua dihal apapun.
Sedangkan pemaparan materi kedua
yang disampaikan oleh salah satu dosen muda Universitas Muhamdiyah Palangka
Raya, Mariaty A.Niun memaparkan emansipasi adalah bagaimana perempuan bisa
mengambil posisi dan menempatkan diri distruktur masyarakat. Perjuangan Gender
menurut Mbak Iut sapaan khas dosen ini menyatakan secara gamlang bukan menuntut
tentang kesetaraan namun perempuan menuntut tentang sebuah keadilan
sesuai dengan peran serta fungsinya. Secara genetik perempuan dan laki-laki
pasti berbeda karena itu sudah kodrati dari Tuhan Yang Maha Esa,
disisi lain perlakuan sosial perempuan dipengaruhi dengan pandangan sosial
bahwa sejak kecil anatara perempuan dan laki-laki dibedakan salah satu contoh
sederhana dengan memberi permainan boneka-bonekaan uantuk perempuan dan pistol,
mobil-mobilan
itu untuk laki-laki. Gender adalah pilihan bukan kodrat, posisi
perempuan hari ini selalu terkesan dipimpin oleh kaum laki-laki namun juga
tidak dinafikan bahwa banyak kasus perempuanlah yang memimpin dengan
kelebihannya yaitu secara kecerdasaan emosional baik dibidang
industri maupun dirumah tangga.
Keadilan
gender mandek saat adanya penghakiman-penghakiman sosial bahwa perempuan hanya
menempati/mendapat peran domistik berkaitan dengan dapur, sumur dan kasur.
Sedangakan laki-laki sering tampil dalam hal publik mencari nafkah diluar untuk
keluarganya. kontruksi sosial inilah yang seakan-akan membatasi ruang dan gerak
perempuan itu
sendiri.
Setelah
selesai memaparkan dibukalah sesi tanya jawab serta tanggapan dari peserta yang
pertama saudari Ade (Mahasiswi
Dari Fakultas Psipol Universitas Palangkaraya) ini mengeluhkan
tentang pengalamannya saat mempimpin salah satu kegiatan dimana saat itu teman
laki-laki tidak mahu untuk diperintah/diajak berkerjasama, mengapa demikian ?
penanya kedua saudara chandra presiden BEM UNKRIP ini bertanya sekaligus
memberi tanggapan bahwa Negara ini ternyata secara sistem memarginilasi
perempuan dengan sejumlah produk undang-undang yang tidak pro perempuan yaitu UU
tentang Pemilu yang mengatur hanya 30% saja untuk kouta suara perempuan
diparlemen, disisi lain perempuanpun dinilai mempunyai kelemahan dengan adanya
cuti hamil dan lain-lain sehingga upah mereka dibedakan dari kaum laki-laki,
ketiga tangapan dari saudara fahrudin asal UNESA yang menyatakan bahwa
pemaparan kedua pemateri telah meloncat sehingga perlu penjelasan mengapa
kontruksi sosial ini timpang ?.
Mbak
Iut secera umum menanggapi ketiga peserta tersebut kasusnya Ade tentunya harus
dilihat secara pendekatan, mungkin dalam manaegemen sebagai seorang pemimpin
masih belum dijalankan secara penuh atau memang yang bersangkutan dalam lain
bisa juga terdapat mis link tentang posisi kawan-kawan Ade pada waktu itu yaitu untuk
menunjang perkerjaan sesuai fungsinya.
Mbak
Iut bertanya kepada chandra apakah yang kouta 30% itu sudah
terpenuhi koutanya, ternyata juga masih belum memenuhi kouta karena apa masih
belum sadarnya didiri perempuan itu sendiri tentang peran dan haknya, faktor
lain adalah kultul sosial indonesia baik lewat agama maupun segi yang lain
bahwa perempuan hanya untuk bagian domestik saja, seakan ada sekat memang dan
ini harus didobrak oleh perempuan itu sendiri jika itu dihendaki.
Masalah rendahnya gaji dibidang industri yang diterima perempuan menurut hemat
mbak Iut itu hanya
dijadikan salah satu cara perusahaan untuk mengurangi pengeluaran biayaya
produksi. Tangapan kepada kawan kita fahrudin yang menjadi kontruksi sosial ini
pincang dikarenakan adanya budaya-budaya itu tadi.
Berbeda dengan tangapan dari bung
dany bahwa hak hidup seseorang tidak boleh dibatasi, tidak boleh ada pembedaan
antara perempuan dan laki-laki dari segi sosial, bila ditanya apakah negara ini
memarginilasi hak kaum perempuan jawabannya adalah ia, karena kita bisa melihat
dengan adanya peraturan bahwa perempuan dalam bidang industri itu dilihat
sebagai seorang single
sehingga mereka tidak mendapatkan tunjangan untuk keluarganya, budaya patriaki
ini harus dirubah kalau menginginkan struktur sosial tidak timpang, namun perlu
menjadi catatan disini perjuangan perempuan musuh utamanya bukan kaum laki-laki itu sendiri
kalau ini terjadi maka perempuanpun engan akan menikah dan proses reproduksi
manusia akan berhenti, yang perempuan lawan adalah sistem/kebijakan yang tidak
pro dengan dirinya.
Antara
perempuan dan laki-laki harus sama-sama berjuang demi keadilan, perjuangan
emansipasi perempuan harus didukung oleh kaum laki-laki. Kaum laki-laki harus
merubah pola pikir patriakinya karena didepan Tuhan manusia itu berbeda
hanya dalam
segi amal serta dosanya sedangkan dihadapan hukum itu yang
membedakan adalah hasil perbuatanya bukan berdasarkan jenis kelamin. Karena
emansipasi bukan hanya milik perempuan namun juga milik kaum laki-laki,
perubahan konstruksi sosial harus di rubah secara bersama-sama, karena
kebersamaan
itu indah.@ASP.