Senin, 25 Juni 2012

“ Emansipasi Bukan Hanya Milik Perempuan”


Palangka Raya (Suram News), Mahasiswa yang tergabung dalam Forum Diskusi Mahasiswa Palangka Raya (FORDIMA), mengadakan kuliah umum dengan mengankat tema Emansipasi Perempuan, sabtu 8/10. Kedua narasumber yang tidak disanksikan lagi kapasitasnya dalam hal pergerakan mahasiswa saling bergantiaan memaparkan materi emansipasi perempuan. Bung Danny sapaan akrap aktivis asal kota surabaya ini membuka pembahasan dengan mengungkap beberapa sisi marginalisasi kepada kaum perempuan dewasa ini ada tiga pokok problematika perempuan yang pertama secara ekonomi adanya perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan disektor industri, kedua dalam segi politik adanya pembatasan kuota suara perempuan dalam menempati kursi parlemen lewat UU pemilu, ketiga dalam segi budaya masih kentalnya budaya patriaki yang berpaham bahwa laki-laki harus memimpin perempuan dan perempuan selalu menjadi nomer dua dihal apapun.
                Sedangkan pemaparan materi kedua yang disampaikan oleh salah satu dosen muda Universitas Muhamdiyah Palangka Raya, Mariaty A.Niun memaparkan emansipasi adalah bagaimana perempuan bisa mengambil posisi dan menempatkan diri distruktur masyarakat. Perjuangan Gender menurut Mbak Iut sapaan khas dosen ini menyatakan secara gamlang bukan menuntut tentang kesetaraan namun  perempuan menuntut tentang sebuah keadilan sesuai dengan peran serta fungsinya. Secara genetik perempuan dan laki-laki pasti berbeda karena itu sudah kodrati dari Tuhan Yang Maha Esa, disisi lain perlakuan sosial perempuan dipengaruhi dengan pandangan sosial bahwa sejak kecil anatara perempuan dan laki-laki dibedakan salah satu contoh sederhana dengan memberi permainan boneka-bonekaan uantuk perempuan dan pistol, mobil-mobilan itu untuk laki-laki. Gender adalah pilihan bukan kodrat, posisi perempuan hari ini selalu terkesan dipimpin oleh kaum laki-laki namun juga tidak dinafikan bahwa banyak kasus perempuanlah yang memimpin dengan kelebihannya yaitu secara kecerdasaan emosional baik dibidang industri maupun dirumah tangga.
Keadilan gender mandek saat adanya penghakiman-penghakiman sosial bahwa perempuan hanya menempati/mendapat peran domistik berkaitan dengan dapur, sumur dan kasur. Sedangakan laki-laki sering tampil dalam hal publik mencari nafkah diluar untuk keluarganya. kontruksi sosial inilah yang seakan-akan membatasi ruang dan gerak perempuan itu sendiri.
Setelah selesai memaparkan dibukalah sesi tanya jawab serta tanggapan dari peserta yang pertama saudari Ade (Mahasiswi Dari Fakultas Psipol Universitas Palangkaraya) ini mengeluhkan tentang pengalamannya saat mempimpin salah satu kegiatan dimana saat itu teman laki-laki tidak mahu untuk diperintah/diajak berkerjasama, mengapa demikian ? penanya kedua saudara chandra presiden BEM UNKRIP ini bertanya sekaligus memberi tanggapan bahwa Negara ini ternyata secara sistem memarginilasi perempuan dengan sejumlah produk undang-undang yang tidak pro perempuan yaitu UU tentang Pemilu yang mengatur hanya 30% saja untuk kouta suara perempuan diparlemen, disisi lain perempuanpun dinilai mempunyai kelemahan dengan adanya cuti hamil dan lain-lain sehingga upah mereka dibedakan dari kaum laki-laki, ketiga tangapan dari saudara fahrudin asal UNESA yang menyatakan bahwa pemaparan kedua pemateri telah meloncat sehingga perlu penjelasan mengapa kontruksi sosial ini timpang ?.
Mbak Iut secera umum menanggapi ketiga peserta tersebut kasusnya Ade tentunya harus dilihat secara pendekatan, mungkin dalam manaegemen sebagai seorang pemimpin masih belum dijalankan secara penuh atau memang yang bersangkutan dalam lain bisa juga terdapat mis link tentang posisi kawan-kawan Ade pada waktu itu yaitu untuk menunjang perkerjaan sesuai fungsinya.
 Mbak Iut bertanya kepada chandra apakah yang kouta 30% itu sudah terpenuhi koutanya, ternyata juga masih belum memenuhi kouta karena apa masih belum sadarnya didiri perempuan itu sendiri tentang peran dan haknya, faktor lain adalah kultul sosial indonesia baik lewat agama maupun segi yang lain bahwa perempuan hanya untuk bagian domestik saja, seakan ada sekat memang dan ini harus didobrak oleh perempuan itu sendiri jika itu dihendaki. Masalah rendahnya gaji dibidang industri yang diterima perempuan menurut hemat mbak Iut itu hanya dijadikan salah satu cara perusahaan untuk mengurangi pengeluaran biayaya produksi. Tangapan kepada kawan kita fahrudin yang menjadi kontruksi sosial ini pincang dikarenakan adanya budaya-budaya itu tadi.
                Berbeda dengan tangapan dari bung dany bahwa hak hidup seseorang tidak boleh dibatasi, tidak boleh ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki dari segi sosial, bila ditanya apakah negara ini memarginilasi hak kaum perempuan jawabannya adalah ia, karena kita bisa melihat dengan adanya peraturan bahwa perempuan dalam bidang industri itu dilihat sebagai seorang single sehingga mereka tidak mendapatkan tunjangan untuk keluarganya, budaya patriaki ini harus dirubah kalau menginginkan struktur sosial tidak timpang, namun perlu menjadi catatan disini perjuangan perempuan musuh utamanya bukan kaum laki-laki itu sendiri kalau ini terjadi maka perempuanpun engan akan menikah dan proses reproduksi manusia akan berhenti, yang perempuan lawan adalah sistem/kebijakan yang tidak pro dengan dirinya.
Antara perempuan dan laki-laki harus sama-sama berjuang demi keadilan, perjuangan emansipasi perempuan harus didukung oleh kaum laki-laki. Kaum laki-laki harus merubah pola pikir patriakinya karena didepan Tuhan manusia itu berbeda hanya dalam segi amal serta dosanya sedangkan dihadapan hukum itu yang membedakan adalah hasil perbuatanya bukan berdasarkan jenis kelamin. Karena emansipasi bukan hanya milik perempuan namun juga milik kaum laki-laki, perubahan konstruksi sosial harus di rubah secara bersama-sama, karena kebersamaan itu indah.@ASP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar